Bagiku, Tak Ada Rumah untuk Lebaran

Anggita Olivia
5 min readJun 11, 2020

--

Ilustrasi

Tahun ini tak begitu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tanpa sosok ayah di rumah, ibu menggantikan peran ayah selama belasan tahun. Sejak kecil, AB, begitu namanya ingin disebut, merayakan lebaran bersama ibunya saja. Tak pernah sekalipun dalam seumur hidupnya ia merasakan momen kemenangan itu dengan ayah dan ibu sekaligus.

Orang tuanya telah berpisah sejak lama, sejak ia masih polos-polosnya duduk di bangku taman kanak-kanak. Ketika itu, ia sama sekali tidak mengerti bahwa kedua orang terkasihnya tak bisa hidup bersama lagi, menemaninya hingga sukses. Yang teringat jelas di benaknya, kedua orang tersebut pernah memperebutkan AB, hingga akhirnya hak asuh dimenangkan oleh ibunya.

Pernah satu saat ketika ia masih belajar di sebuah SMA di Kota Bandung, AB merayakan lebaran dengan ayahnya. Hanya sekali, dan itu pun karena ayahnya yang meminta anak laki-lakinya tersebut menyambangi kediamannya di sebuah sudut di Ibu Kota.

Bagi dirinya, lebaran bersama ayah adalah hal yang menyenangkan. Namun tak melulu demikian. Sekarang, ayah sudah memiliki keluarga baru. Kadang-kadang ia merasa iri dengan keluarga baru ayah. Menurutnya, ada sesuatu yang berbeda yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Tentu ia mendambakan lebaran bersama ayah lagi. Tapi, keinginan tersebut ia kubur dalam-dalam. AB memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya sendiri di Bandung, bersama ibunya. Tak pernah sedikitpun terbesit pikiran untuk merayakan lebaran bersama ayah dan ibu, karena ia tahu hal tersebut tak akan pernah bisa. “Bukannya lebaran bareng, yang ada malah cari masalah baru,” tuturnya.

AB menganggap perkumpulan keluarga, atau sekadar membahas masalah keluarga adalah hal yang dapat menyulap suasana hatinya menjadi buruk. Dari masih bocah, ia sudah kehilangan momen-momen tentang keluarga. Ia pun bercerita kalau dirinya sering menjadi bulan-bulanan oleh sanak saudaranya saat sedang berkumpul. AB dicap sebagai anak yang kurang mendapat perhatian. Meski ia sudah mandiri secara finansial seperti sekarang, perlakuan tersebut masih ia dapatkan walau sudah berkurang. Ada luka, trauma yang mendalam di dirinya sedari dulu.

“Bagi urang, it’s not important (kumpul keluarga).”

AB menyibukkan diri dengan mencari kebahagiaan sendiri. Sekarang, ia mencintai rutinitasnya sebagai penari tradisional serta guru tari. Dengan hidup seperti saat ini, baginya tak ada kondisi lebaran yang ideal. Ia tak pernah mengharapkan apapun. Karena menurutnya, berharap hanya akan membuat sakit hati untuk kedua kalinya.

Lain cerita bagi DS. Di tengah pandemi ini, ia terkurung di Jatinangor, sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang. Tempat sejuta memori bagi para pelajar yang menuntut ilmu di perantauan. Meski terdengar sedih, bagi DS, tak bertemu keluarga di hari lebaran adalah anugerah.

Sebuah apartemen dengan dua kamar ia tempati di Jatinangor. Dirinya mengaku sangat senang dan lega terlepas dari jerat toxic keluarga di Jakarta. “Aku benar-benar ngerasa bebas dan tenang, gak ada tuntutan atau omongan yang bikin emosi atau feeling down gitu,” serunya.

DS merupakan seorang mahasiswi rantau yang berasal dari Jakarta. Keluarganya serba berkecukupan. Di rumah, ia hidup bersama kedua orang tuanya, dan satu adik perempuan yang selama ini menjadi tempat keluh kesahnya. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan besar. Hidupnya terlihat baik-baik saja dari luar. Walau orang tuanya masih tinggal satu atap, DS bisa merasakan telah kehilangan keduanya.

Tentu saja ada hal-hal yang hilang di tahun ini. Tradisi keluarga seperti mengenakan seragam lebaran, foto-foto bersama, makan sajian ala lebaran, dan bersilaturahmi keluarga tak ia dapatkan. Sayangnya, hal tersebut tak mengurung kebahagiaan DS. Di hari raya Idul Fitri, ia bersuka cita ketika bisa menyantap apapun yang ingin ia masak. Tanpa perlu mengikuti ‘tradisi’ makanan lebaran yang katanya disajikan dalam porsi besar, tak habis-habis hingga tiga hari.

DS juga merasa lebaran kali ini tak perlu menjalankan tradisi ‘maaf-maafan’ secara fisik dengan orang tuanya. “Alias aku gak perlu pura-pura lagi tuh maafin keluarga aku, hehehe.”

Semuanya berawal pada lebaran 2018. Saat itu, ia dan adiknya tak sengaja membaca chat di sebuah platform media sosial milik ibunya. Memang pada awalnya ia tak berpikir bahwa ibunya dapat melakukan hal setega itu. Hingga akhirnya ia menemukan banyak bukti yang memperkuat fakta bahwa selama bertahun-tahun, ibunya telah berselingkuh.

Pada suatu waktu, DS pergi bersama kedua orang tuanya ke dokter gigi. Mereka semua duduk di ruang tunggu, menunggu giliran. Pada momen kebersamaan itu, ia menemukan pemandangan yang cukup gila.

“Ibuku sembunyi-sembunyi WhatsApp sama Om E pas lagi duduk di sisi kananku. Padahal, bapakku lagi duduk di sisi kiriku. Ih, dah gila perempuan itu!” ketusnya ketika memergoki ibunya berselingkuh dengan Om E, setidaknya begitu ia memanggil kekasih gelap ibu.

Ia memutuskan untuk kembali ke perantauan, meski libur kuliah masih panjang. Dengan travel bus, ia menikmati jalanan yang begitu panjang. Waktu terasa sangat lama, ditambah dengan macet yang memperkeruh suasana. Sepanjang perjalanan dari Bintaro menuju kota kembang, ia mengingat-ingat semua percakapan terlarang ibu, serta gelagat orang tersebut saat sedang membalas pesan singkat selirnya di depan laki-laki yang masih ia anggap suami.

“Rasanya tuh, finally after all these years aku punya satu alasan yang solid kenapa aku gak pernah senang atau sayang secara tulus gitu ke ibu. Sementara dia selingkuh tuh, dia selalu maksa keluarga berempat ini sebagai keluarga idaman seluruh insan. Dia selalu bangga-banggain bapak kerja dimana, aku sekolah dimana, prestasi adikku. Dia selalu maksa kami berempat pergi kemana-mana bersama. Astaga, astaga. Ngapain sih kami, terutama aku dan adikku, dipaksa menuhin semua mau dia cuma untuk nebus rasa bersalahnya yang bakal bertahan cuma beberapa jam, sebelum dia bales WhatsApp si Om E lagi,” ceritanya.

Ibu dan Ayah bagi DS sama saja. Keduanya saling menodai rumah tangga mereka. Ayah juga bermain api di belakang Ibu. Dan saat lebaran, keluarganya terlihat seperti vas bunga yang dipaksa utuh, meski telah lama retak.

Bagi AB maupun DS, kondisi keluarganya yang tak harmonis lagi memaksa mereka untuk bisa berdiri di kaki sendiri. AB mengaku sudah banyak kecewa dengan banyak orang. Hanya dirinya yang bisa menguatkan diri sendiri.

“Sebenarnya ada yang nguatin. Ibu, Almarhumah Nenek, Ayah juga, dan guru spiritual. Tapi sebesar apapun orang nguatin urang, tetap aja ujungnya cuma urang sendiri yang bisa nguatin diri sendiri,” tegasnya.

Kebanyakan apa yang ia rasakan hanya disimpan sendiri. Meski ada beberapa hal yang kadang ia ceritakan pada sahabat dan keluarga. AB merasa tak pernah nyaman untuk bercerita ke siapapun. “Selalu kecewa kalau udah berurusan sama manusia.”

Begitu pula dengan DS, ia menumpahkan kisah pada Adiknya. Selain adik yang ia percayai, dirinya juga bercerita pada kakak dari ibunya yang biasa ia panggil ‘Bude’. Ia percaya bahwa dirinya tak mampu untuk menampung semua beban yang sedang ia hadapi. Tapi DS juga tak bisa berharap banyak pada orang lain.

Ombang-ambing rumah tangga orang tua AB dan DS bak drama Korea The World of the Married, yang menyajikan kisah broken home secara dramatis. Meski mirip, series tersebut hanya bertahan selama enam belas episode. Sementara kehidupan yang AB dan DS jalani harus melewati ratusan, bahkan ribuan episode.

Sementara, DS berharap lebaran kali ini bisa menjadi new normal untuknya. Ada jarak fisik antara ia dan orang tua, dan mereka pun sadar bahwa cara mereka memperlakukannya selama ini tak cocok. Menurutnya, tak perlu dipaksakan. Bagaimana pun juga, dirinya tetap terikat dengan ibu dan bapak. “Tapi arti keluarga kan gak mesti yang terikat secara genetik.”

Lebaran tak melulu indah. Lebaran tak melulu bersama. Bagiku, tak ada rumah untuk lebaran.

--

--