Closingan, Tradisi dalam Belenggu Covid-19

Anggita Olivia
4 min readMay 14, 2020

--

Di selatan ibu kota, setiap malam adalah penutup hari yang menyenangkan. Pusat-pusat keramaian seperti bar, klub malam, maupun karaoke lounge merupakan taman bermain bagi para pencintanya. Di sebuah bar bernuansa hip-hop di bilangan SCBD Sudirman, mereka berenam menikmati ‘closing’ dugem sebelum berpuasa satu bulan ke depan. Malam itu, beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan 2019, Kiki bersama lima temannya sedang menikmati tantangan yang mereka buat. “Gak mabok, gak pulang!” ujarnya.

Malam begitu panjang. Sejak tengah malam hingga pukul 03.00 dini hari, mereka membunuh waktu sampai banyak hal terjadi. Menenggak beberapa gelas alkohol hingga tak bisa berjalan, jackpot, blackout, hingga ‘membungkus’ perempuan yang mereka temui di lantai dansa. Dunia gemerlap (dugem) membuat mereka begitu asyik, hingga tak sadar bahwa sekawanan ini sudah menghabiskan 9 juta dalam satu malam.

Semenjak virus corona menjadi pandemi global, hampir seluruh tempat umum di berbagai belahan dunia ditutup. Salah satu yang terdampak adalah tempat hiburan malam, yang sudah ditutup jauh sebelum perbincangan “kapan hilal terlihat?” dimulai. Pada situasi normal, tempat-tempat ini akan menyelenggarakan ‘closing’ dugem sebagai pesta terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan.

Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia oleh Tracy Wright Webster, budaya dugem merupakan salah satu bisnis yang menguntungkan. Bahkan, salah satu surat kabar harian di kota budaya Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, memiliki kolom kecil yang secara implisit mempromosikan event-event bertema dugem.

Meski menjadi salah satu sektor pariwisata yang cukup menjanjikan, tidak semua lapisan masyarakat setuju dengan konsep dugem. Dalam artikel yang ditulis Webster dijelaskan, bagi para moralis, dugem dinilai sebagai pusat eksploitasi kapitalisme, pencarian kenikmatan duniawi, dan tindakan yang amoral.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Muslim, aturan dibuat untuk memberikan celah sempit bagi kegiatan-kegiatan non-normatif menjelang bulan Ramadhan di Indonesia. Tiap tahun, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta melakukan penyesuaian jam operasional tempat-tempat hiburan. Jenis usaha seperti bar dan klub malam harus ditutup mengikuti aturan tersebut. Hal itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, dan lain-lain.

Kekecewaan tentu menyergap beberapa penikmat dunia malam, salah satunya adalah Jae yang belum sempat melakukan closing. Buasnya covid-19 memaksa tempat-tempat hiburan ditutup lebih awal, hingga pelanggan seperti Jae terpaksa menahan hasrat duniawinya. Menurutnya, closing merupakan momen transisi menuju bulan puasa.

“Nanti kan gak bisa (minum). Siapa tau setelah bulan puasa berhenti apa gimana,” ujarnya.

Jae cukup aktif mengonsumsi minuman beralkohol. Dalam sebulan, ia biasanya menikmatinya dua kali, bahkan lebih. Kondisi keuangan dan mood menjadi acuannya. Laki-laki berusia 22 tahun ini mengaku, ia lebih menikmati pergi ke bar untuk minum atau sekadar bernyanyi, ketimbang pergi ke klub malam untuk ‘berjoget’.

Status Sosial

Lain halnya dengan Farhan yang menceritakan pengalamannya tahun lalu saat closing sebelum Ramadhan. Baginya, closing adalah penutupan sebelum sebulan full berpisah dengan minuman kesayangan. “Kayak farewell party aja gitu sama minuman kesayangan dan party vibes yang bakal lo kangenin sebulan ke depan,” tambahnya.

Mengutip artikel “Di Indonesia, Minum Alkohol Hanya untuk Status Sosial” (08/06/2014) oleh Kompas.com, Psikolog Tika Bisono menjelaskan bahwa alkohol sudah jadi part of culture di Indonesia. Bagi masyarakat, mengonsumsi alkohol merupakan bentuk sosialiasi modern.

Bagi para clubbers (istilah bagi orang-orang yang rutin clubbing atau dugem), nominal yang dikeluarkan untuk menikmati beberapa sloki dan mendengarkan lantunan lagu-lagu favorit di klub malam tidaklah sedikit. Farhan mengaku menyiapkan hampir setengah juta untuk satu malam, sekitar Rp300 ribu-Rp400 ribu. Hal tersebut ia gunakan untuk open table, makan dan minum, serta ongkos.

“Kalau lo party di tempat yang high class, otomatis budget lo akan bertambah. Sesuai sama orang yang ikut dan harga table yang bakal lo pilih,” tambahnya.

Sementara itu, Jae bercerita, selama bulan puasa, ia ingin memperbanyak ibadah. Ia juga meyakini bahwa bulan suci Ramadhan dapat menjadi sarana pensucian diri. Meski demikian, bagi Jae maupun Farhan, closing hanyalah gerbang menuju momen redupnya gegap-gempita malam selama kurang lebih 30 hari. Keduanya masih ingin berpetualang sebagai nokturnal saat dunia sibuk terlelap, belum ingin berhenti.

“Belum sih, karena gue masih pengen aja. Apalagi gue tau lingkungan kerja gue dimana. Aaaah, bullshit! Intinya masih pengen,” tambah Jae.

Beda cerita bagi Kiki yang sudah cukup menikmati asam garam dugem. Sebelum pandemi melumpuhkan hampir seluruh sektor kehidupan di dunia, ia adalah penghuni rutin klub-klub malam. Kiki bercerita, sebelum 2019 dirinya bisa pergi dugem setiap akhir pekan. Namun, seiring bertambahnya usia, ia mengaku staminanya sudah tak seheboh masa-masa itu.

Bagi dirinya, closing tak memiliki makna yang signifikan. “Kita cuma having fun di tempat yang sama, dengan orang yang sama. Cuma beda momen aja karena mau datang Bulan Ramadhan, terus orang-orang bilangnya ‘closingan’. Nanti juga abis lebaran, dapet THR (Tunjangan Hari Raya) pada mabok lagi.”

Saat Covid-19 sedang masif-masifnya masuk ke negara ini, Kiki sempat didiagnosa oleh dokter sebuah penyakit yang cukup mematikan, DBD. Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang juga muncul saat Covid-19 sedang menghantui. Gejala kedua penyakit ini hampir mirip, seperti demam tinggi dalam jangka waktu yang panjang. Selama dirawat di rumah sakit, ia hanya berpikir bahwa dirinya di ambang ‘hidup segan, mati tak mau’.

“Gue masih mikir, kenapa kayak gini? Kenapa harus gue yang kena virus? Banyak orang jahat di luar sana. Sekarang perasaan gue, gak solat aja merasa bersalah banget. Selama sakit gue jadi sadar, dapet tamparan yang keras banget. Udah. Gue mau berguna buat sekitar. Gue udah mau tinggalin dunia-dunia kelam,” tuturnya suatu waktu menjelang adzan Maghrib.

Tak semua orang ingin kembali menyusuri lampu-lampu kota di bawah bintang untuk berdansa semalam suntuk, atau menikmati minuman-minuman yang rasanya nyeri di tenggorokan itu. Bagi Kiki, dirinya pernah sangat ‘gila’ bila mengenang masa-masa tersebut. Kini, ia hanya ingin fokus berpuasa tanpa halangan. Hatinya berharap, pandemi ini cepat berakhir. “Mau umroh sama mak, abis itu bangun rumah.”

--

--