Mengapa Harus Pelatihan Menjahit?

Anggita Olivia
3 min readNov 28, 2019

--

Ruang kerja bersama atau coworking space di RW 8, Kelurahan Braga, baru saja diresmikan oleh Wali Kota Bandung Oded M Danial pada Minggu, 10 November 2019. Tempat tersebut dulunya merupakan gedung bekas sekolah, tapi saat ini difungsikan sebagai wadah untuk berbagai macam kegiatan. Oded memiliki program untuk memberdayakan warga di daerah tersebut, dengan memberikan pelatihan melukis sampai kursus menjahit (koran Pikiran Rakyat, 11/11/19).

Yang menarik perhatian saya adalah, kenapa harus ada kursus menjahit? Terlebih lagi, kursus menjahit tersebut dilakukan oleh sekitar 30 ibu rumah tangga. Bahkan salah seorang ibu rumah tangga yang diwawancarai merasa senang bisa berlatih. Syukur-syukur hal yang ia geluti itu bisa menghasilkan. Hal ini berarti, pemerintah masih melanggengkan budaya menjahit kepada perempuan.

Menurut buku Dari Doing ke Undoing Gender: Teori dan Praktik dalam Kajian Feminisme oleh Udasmoro, citra perempuan masih dilihat sebagai sosok yang familialisme. Maksudnya, perempuan masih dilekatkan sebagai sosok yang dekat dengan urusan rumah tangga, seperti memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, dan menjahit termasuk ke dalamnya. Jika melihat secara historis, menjahit memang akrab dengan perempuan. Fatmawati, istri dari Presiden Soekarno memiliki andil dalam penjahitan sang saka merah putih. Tapi hal tersebut terjadi 74 lalu, dan saat ini sudah banyak bidang lain yang bisa dilakukan perempuan.

Walau demikian, jika ditelaah lagi profesi penjahit didominasi oleh laki-laki. Tentu hal itu tidak sesuai dengan budaya menjahit yang dekat dengan sosok ibu. Bisa jadi, maraknya penjahit laki-laki disebabkan oleh budaya patriarki itu sendiri, bahwa perempuan memang lebih baik menjadi ibu, sedangkan laki-laki dinilai sebagai orang yang tepat dalam kelas pekerja. Makanya penjahit laki-laki kerap ditemukan di hampir setiap kota dengan mudah.

Di Kamboja, terdapat beberapa pabrik penghasil pakaian-pakaian bermerk. Para perempuan yang berasal dari negara ketiga dipekerjakan habis-habisan sebagai buruh jahit. Pakaian yang diproduksi adalah fast fashion, yang bisa dimaknai sebagai proses produksi pakaian dalam jumlah banyak yang menggunakan waktu singkat. Maka itu, fast fashion membutuhkan banyak sekali sumber daya manusia, dan dengan sumber daya manusia yang banyak ini akan sangat sulit untuk menjaga keselamatannya.

Menurut data yang saya peroleh dari artikel berjudul “Beginilah Beratnya Keseharian Buruh Perempuan yang Menjahit Pakaian Branded-mu” oleh Vice.com, ada dua pertiga pekerja yang tidak aman dalam hal pangan. Para buruh dipekerjakan lebih dari jam yang seharusnya, kemudian mereka juga tak punya akses yang baik untuk kesehatannya, bahkan tak jarang dari mereka yang mengalami kecelakaan. Dalam kata lain, perempuan-perempuan ini sudah dieksploitasi.

Kembali lagi ke Indonesia, pelatihan menjahit yang diadakan oleh pemerintah tentu mendapat respon yang baik, maupun tidak. Salah satunya saya yang kontra dengan hal tersebut. Menurut saya, kursus menjahit yang diberikan dan diterapkan ke masyarakat sudah menjadi aktivitas yang usang. Kemajuan industri saat ini harusnya bisa memberi gambaran nyata tentang sumber daya seperti yang dibutuhkan.

Tentu menjadi persoalan sendiri mengingat target dari pelatihan tersebut adalah ibu rumah tangga yang hampir paruh baya. Memang sesuai dengan masyarakat dengan tingkat literasi informasi yang minim, tapi sampai kapan pelatihan menjahit ini akan terus diadakan? Harusnya pemerintah menyesuaikan kondisi saat ini, bahwa perempuan tak selalu berurusan dengan hal feminim. Begitupun dengan lapangan pekerjaan yang masih diskriminatif pada perempuan.

Padahal Oded menjelaskan bahwa ia bisa melihat RW 8, Kelurahan Braga sebagai tempat yang potensial. Dirinya juga bilang bahwa Braga merupakan pusat wisata yang strategis. Apakah tidak terlihat jelas kalau hal ini bisa menjadi kesempatan emas untuk memberdayakan warga di sana? Memberi pelatihan membuat warga merasa didukung untuk mandiri, tanpa sadar menjadi buruh lagi orang-orang yang berkuasa. Kita adalah buruh bagi mereka, hanya saja kita menjadi buruh untuk bidang yang berbeda-beda.

--

--