Menilik Fahri Hamzah dari Gaya Bahasanya

Anggita Olivia
4 min readOct 27, 2019

--

Masih hangat diperbincangkan, sebuah cuplikan wawancara Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah dengan Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dheatantra Dimas. Pembahasannya masih sama dengan yang diperjuangkan oleh aliansi mahasiswa di depan gedung parlemen (24/9/2019) yaitu penolakan pada beberapa Rancangan Undang-Undang kontroversial. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP).

Berdasarkan wawancara via video call di salah satu televisi swasta, Dimas mengutarakan penolakannya terhadap beberapa regulasi seperti UU KPK, RUU RKUHP, RUU Pertahanan, dan lainnya yang terdapat dalam tujuh desakan pada DPR. Cukup jelas bahwa sudah ada tuntutan yang disampaikan sejak aksi massa berlangsung hingga saat ini. Tapi nampaknya Fahri tidak memahami maksud tuntutan mahasiswa tersebut.

Fahri berkali-kali menyampaikan bahwa ia tidak mengerti pasal mana saja yang bermasalah, sedangkan mahasiswa terus bilang bahwa aturan-aturan tersebut merugikan rakyat. Padahal, perwakilan mahasiswa sudah sempat menyambangi DPR dan berdiskusi mengenai aturan-aturan tersebut pada 19 September yang lalu. Sayangnya, obrolan ini tidak sampai pada petinggi-petinggi di sana. Hingga DPR mempertanyakan mengapa mahasiswa berkoar mempermasalahkan aturan ini.

Dimas mewakili bangsa mahasiswa cukup kecewa bahwa tuntutannya tidak dianggap serius. Akhirnya ia meminta waktu agar Fahri beserta jajarannya dapat menemui perwakilan mahasiswa untuk berdiskusi. Dengan tegas Dimas meminta tanggal pertemuan, tapi Fahri tidak memberi kepastian dan sengaja melontarkan jawaban-jawaban yang tidak relevan.

Lulusan Universitas Indonesia ini malah menceritakan bahwa dirinya sempat seperti demonstran lainnya, pernah menjadi aktivis pula. Seakan ia sangat memahami peran mahasiswa hari ini. Lucunya, ia juga bilang bahwa apa yang orang-orang tolak saat ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa harus menolak aturan yang sudah lama dicanangkan, dan apakah rakyat tidak membaca draf tersebut dengan baik? Di mana letak kesalahannya?

Mungkin mahasiswa yang bodoh. Kita tidak memahami otak di balik RUU tersebut. Fahri bilang, mungkin saat ini ada generation gap yang membuat para petinggi dan mahasiswa tidak saling memahami. Menurut saya tentu saja ada gap, jelas-jelas ada perbedaan yang signifikan dari segi usia, pendidikan, maupun kelas sosial. Mungkin ini juga masalahnya, saat para petinggi itu tidak bisa melihat rakyatnya dari dekat.

Lantas, apakah salah jika mahasiswa yang mewakilkan suara rakyat menuntut keadilan? Bukannya keadilan itu sudah ada dalam dasar negara kita? Lalu mengapa, demonstrasi, orasi, dianggap tidak lagi relevan oleh orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan? Tapi mengapa pula, ketika mereka meminta dialog langsung dengan mahasiswa, tidak ada jawaban tegas yang bisa memberi ruang untuk berdiskusi. Padahal niatnya baik, untuk mengawal dan mengawasi kinerja pemerintah. Bukannya tugas DPR juga sama?

Keanehan lainnya dapat ditelaah saat Dimas menjelaskan pasal dalam RKUHP, lalu Fahri bilang mahasiswa seakan dipanas-panasi oleh oknum tertentu. Dan lagi, ia tidak memahami konteks yang dijelaskan oleh Dimas tersebut.

“Lebih baik sekarang teman-teman mendukung RKUHP yang baru. Ini yang lebih sesuai reformasi, dengan demokrasi, sesuai dengan perjuangan mahasiswa, lebih sesuai dengan perjuangan kita semua. GILA apa saya harus mendukung Undang-Undang otoriter? Mustahil lah! Kalian ini gak denger yang ‘benar’, makanya salah dengar kalian. Kalau ketemu saya udah beres itu, semestinya gak harus begini. Lebih baik sekarang balik nih, bilang kalau kita SALAH BACA. Jangan mau kita dibohongi orang-orang. Kita udah capek nih dibohong-bohongi orang,” cetus Fahri.

DPR ini bilang, aturan yang dibuat tentu bukan aturan yang otoriter. Mengatur ranah privat katanya, bukan kesewenang-wenangan. Padahal ranah privat adalah urusan masing-masing individu. Tidak boleh ada satupun yang masuk dalam ranah tersebut. Ini bukan tuntutan untuk mendapat kebebasan dalam berhubungan badan, tapi tuntutan untuk menghentikan polisi moral dari tiap kepala manusia. Bukannya itu yang disebut manusia modern?

Katanya, semangat otoriterian dan kolonialisme itu sama. Sedangkan saat ini kita harus mengikuti reformasi. Aturan yang dibuat ratusan tahun lalu, harusnya sudah dibuang dan diganti. Karena menurut Fahri, aturan yang baru pasti dibuat untuk kebaikan rakyat. Entah kebaikan rakyat bagian mana yang ia maksud, jelas bukan kebaikan bagi masyarakat banyak. Buktinya massa yang berteriak jumlahnya besar. Pasti ada hal yang tak beres di sini.

Melihat diksi yang digunakan, jelas ada pemilihan kata yang keliru. Penggunaan kata yang ‘benar’ dalam ucapan Fahri bisa berarti banyak hal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, benar bisa bermakna sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah; tidak berat sebelah; adil; lurus (hati); dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya); tidak bohong; sah; sangat; sekali; sungguh. Lalu yang ‘benar’ ini siapa, apakah wakil rakyat masih bisa berlaku adil dan menitik beratkan pada kepentingan bersama? Apakah DPR masih bisa dipercaya dan perkataannya selaras dengan keadaan saat ini?

Menurut data dari Lembaga Survei Indonesia tentang kepercayaan publik terhadap lembaga negara periode pemerintahan Joko Widodo — Jusuf Kalla, tingkat kepercayaan tertinggi ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi, disusul oleh Presiden, Kepolisian, Pengadilan, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pantas saja rakyat mengamuk saat RUU KPK disahkan oleh DPR.

Selanjutnya, kita pertanyakan apa yang dimaksud dari ucapan “sesuai dengan perjuangan mahasiswa, sesuai dengan perjuangan kita semua.” Apa ia tidak membaca tulisan papan-papan yang diangkat para demonstran di luar sana, itu yang dimaksud apa yang diperjuangkan mahasiswa. Tapi mengapa Fahri justru berpikir sebaliknya? Entah pikirannya terkena bias dari mana hingga bisa menafsirkan apa yang diperjuangkannya dan diperjuangkan mahasiswa serta rakyat itu sama.

Lalu penggunaan kata ‘gila’, kembali ke KBBI ‘gila’ bisa diartikan sebagai sakit ingatan; sakit jiwa; tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal) dan masih banyak lagi. Saya ulangi perkataan Fahri, “gila apa saya harus mendukung Undang-Undang otoriter?” dan bukannya penggunaan kata ‘tidak masuk akal’ menjadi jawaban yang tepat dari rangkaian ucapannya saat itu?

Marilah kita sebagai generasi muda tetap berupaya untuk mengawal pemerintah. Sebagai manusia yang waras, mari budayakan berkosakata yang baik. Jangan lupa pula untuk tidak luput dari penderitaan teman-teman kita di luar sana. Indonesia bukan milik perseorangan, tapi milik bersama.

— — — — -
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Menilik Fahri Hamzah dari Gaya Bahasanya, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2019/09/26/64921/menilik-fahri-hamzah-dari-gaya-bahasanya

Penulis: Anggita Olivia Herman
Editor : Rizma Riyandi

--

--