Negeri Intoleransi

Anggita Olivia
4 min readDec 30, 2019

--

Hidup di negara dengan mayoritas penduduk Muslim, membuat saya merasa menjadi superior. Sebagai salah satu kaum Nabi Muhammad, tentu banyak sekali kemudahan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Mendengar adzan setidaknya lima kali sehari merupakan salah satunya. Rumah ibadah yang ada di hampir tiap-tiap pelosok rumah, bahkan yang terpencil sekaligus. Hampir semua makanan yang dipasarkan berlabel halal. Bahkan pada bulan Ramadhan pun ketika kami berpuasa, hampir semua orang bahkan yang tidak wajib melakukannya pun ikut berpuasa. Demi merayakan toleransi antar umat beragama.

Sejak dulu, saya memang tidak pernah disekolahkan di sekolah Islam. Keluarga saya pun bukan yang begitu religius. Tapi saya selalu diajarkan untuk menjadi orang yang baik terhadap sesama. Saya terbiasa hidup berdampingan dengan agama lain. Ketika siang hari tetangga saya yang beragama Hindu bersembahyang, terkadang saya datang ke rumahnya untuk melihat prosesi tersebut. Tetap, sore hari saya pergi ke Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Sehingga ketika harus merantau dan hidup di tengah keberagaman, hal tersebut tak membuat saya kaget.

Di tanah perantauan, saya bertemu berbagai macam orang. Mulai dari yang logat bicaranya unik, yang tentu diakibatkan telinga saya yang tidak familiar. Lalu melihat orang-orang yang datang jauh dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia untuk mencari ilmu. Berbagai macam agama saya temukan, bahkan sampai yang tidak memilikinya. Sampai hari ini, hidup di tengah-tengah keberagaman tak membuat saya terganggu. Bahkan saya merasa banyak belajar dari mereka.

Mereka yang tidak pernah marah ketika kami membuat lelucon tentang kaumnya, mereka yang tak pernah marah ketika kami tiba-tiba harus menunaikan ibadah sholat saat sedang asyik berbincang, mereka yang turut merayakan hari keagamaan lainnya tanpa mengeluh, bahkan turut bersuka cita. Semua itu hanya bisa saya pelajari di lingkungan yang benar-benar merayakan perbedaan.

Beberapa hari menuju Natal, hari kelahiran Yesus Kristus, banyak yang berlomba untuk menyajikan toleransi dalam berbagai bentuk. Baik dengan ornamen bertema Natal, sampai kegiatan-kegiatan yang sengaja diadakan untuk turut serta merayakan cinta kasih-Nya. Tapi tak semua orang merasa demikian. Di Sumatera Barat, sekelompok umat Kristen memilih untuk tak merayakan natal. Aturan yang berlaku membuat mereka merasa terkekang. Menurutnya mereka, lebih baik menuruti dan menghargai hukum yang berlaku, meski hatinya hancur.

Perizinan menjadi salah satu faktor utamanya. Untuk melakukan ibadah merupakan persoalan tersendiri bagi umat agama selain Muslim. Sejumlah penolakan terus diberikan pada mereka yang ingin berlindung pada Tuhan. Apa salahnya jika kaum Kristen ingin merayakan natal bersama saudara-saudaranya? Apakah mereka melakukan hal yang mengganggu? Saya percaya tidak. Tentu teman-teman Kristiani hanya ingin mencari kedamaian. Diskriminasi menjelang natal bukan hanya itu saja. Hal yang selalu terulang tiap tahun, muncul larangan mengucapkan “Selamat Natal” kembali muncul dipermukaan. Selaiknya lagu lama, pro kontra kian berdatangan. Bagi saya pribadi, mengucapkan “Selamat Natal” tidak mengurangi kadar keimanan saya.

Menjadi umat Kristiani di Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Banyak sekali tantangan yang mau tak mau harus dilewati. Misal saja, banyaknya rumah ibadah yang hangus terbakar oleh oknum tak bertanggung jawab. Lalu sulitnya melakukan kegiatan keagamaan yang terkadang dianggap mengganggu warga sekitar. Sementara mayoritas bisa mendengarkan adzan tanpa interupsi dari manapun.

Meiliana, salah satu orang yang beberapa tahun lalu sempat menggemparkan pelosok negeri. Ia hanya berbincang dengan tetangganya tentang pengeras suara di masjid dekat rumahnya yang semakin lama semakin keras. Entah apa yang menjadi masalah, tapi Meiliana dianggap menistakan agama. Beberapa orang yang mendukung Meiliana mungkin akan berpikir ia tak salah. Tapi berapa banyak orang yang menyalahkannya?

Atas kasus tersebut, Meiliana yang berdomisili di Sumatera Utara ini divonis penjara 1,5 tahun. Selain dihukum secara konstitusional, Meiliana juga mendapat hukuman dari warga sekitarnya. Rumah yang ia tinggali dihancurkan dan dibakar. Vihara dan Kelenteng yang ada di sekitaran juga ikut dirusak. Sementara Presiden Jokowi saat itu tidak turun tangan untuk membantu perkara hukum tersebut.

Penistaan agama bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang belakangan ini disebut BTP sempat divonis karena melakukan penistaan agama. Memang agama adalah hal yang sensitif jika masuk ke Indonesia. Yang menjadi ironi adalah saking sensitifnya hal tersebut, agama tiap individu menjadi hal yang penting diperbincangkan dan diketahui oleh orang lain.

Sementara itu, di ranah politik terjadi hal yang sama. Partai keagamaan Kristen mulai berguguran. Dan partai keagamaan mayoritas semakin kuat, misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Berapa banyak orang yang tahu apa itu Partai Damai Sejahtera (PDS)? Mungkin hanya segelintir. Anggota-anggota partai kristen mulai bermigrasi ke partai lainnya yang masih hidup. Memang, partai dengan embel-embel agama kemungkinan hanya akan mengkotak-kotakkan saja. Tapi hilangnya partai Kristen bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya adalah kurangnya suara yang diperoleh saat pemilu berlangsung.

Di tempat-tempat umum, agama diinjeksi ke dalam praktik keseharian. Misal, memaksa murid perempuan di sekolah-sekolah untuk mengenakan kerudung pada hari Jumat. Beberapa sekolah menetapkan aturan yang mewajibkan untuk mengenakan kerudung di hari Jumat. Walau demikian, kerudung tetap merupakan hak dalam menjalankan kewajiban agama. Dan hal tersebut harusnya tertuang dalam sikap-sikap para pengajar di sekolah. Bukan malah memaksakan muridnya untuk menerima apapun yang ia suapi. Walau hari Jumat memang hari yang membahagiakan bagi umat Muslim, tapi Jumat juga milik agama lain. Begitu pula dengan hari Minggu, hari kelahiran Nabi Isa.

Suatu waktu saya pernah mendapat pelajaran Agama Islam yang dilakukan di kelas. Sementara yang tidak beragama Islam harus keluar kelas. Sekolah umum tidak memfasilitasi keragaman agama. Mungkin ada guru yang kebetulan beragama Protestan, lalu bisa mengajar murid yang beragama sama. Tapi bagaimana jika murid tersebut beragama seperti Sunda Wiwitan atau tidak memiliki kepercayaan? Sekolah hanya mengajarkan siswanya untuk peduli pada agama sendiri. Ingat, Indonesia bukan negara bersyariat Islam.

Saya yakin, banyak di antara teman saya yang memilih untuk tidak menganut kepercayaan apapun atau hanya percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi di kolom Kartu Tanda Penduduk pun agama masih diperlihatkan. Walau beberapa waktu lalu ada perubahan bahwa kepercayaan pada Tuhan YME sudah bisa digunakan. Harusnya, agama menjadi hal yang sifatnya personal. Dari individu secara vertikal kepada apa yang ia percayai, baik itu kepada Tuhan maupun apa yang ia percayai. Tapi di Indonesia agama merupakan hal yang perlu diketahui tiap-tiap kepalanya, seperti pertanyaan “Agamamu apa?” yang rasanya wajar saja bila terucapkan di ruang publik.

Negara ini perlu banyak belajar untuk benar-benar menciptakan toleransi. “Bagiku agamaku, bagimu agamamu” perlu ditafsirkan dengan baik. Bukan hanya mementingkan agama sendiri, tapi juga yang ada di sekitarnya.

--

--